Robohnya
Surau Kami
Oleh
A.A. Navis
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka
itu banyak temannya di dunia terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang
dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah
seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula.
Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka
semuanya. Tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian.
“Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah
kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu,
orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi
ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan
kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke
neraka ini.”
“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan
Haji Saleh. “Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu
suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.
“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain,
yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang
penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.”
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja,
banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju! Setuju! Setuju!” mereka bersorak
beramai-ramai.
Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap
Tuhan. Dan Tuhan bertanya, “ Kalian mau apa?”
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara
tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia
memulai pidatonya.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu
ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu.
Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,
mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hafal di luar
kepala kami. Tak sesat sedikit pun membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang
yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami
ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan
dalam kitab-Mu.”
“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang maha kaya raya, penuh oleh logam,
minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,”
mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di
wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap
menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga
tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan
diangkutnya ke negerinya, bukan?”
“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa
lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan
kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu,
kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela
tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga
melarat, bukan?”
“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak
dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga
anak cucumu teraniaya semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau
engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga
kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti
masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa
lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang
dikerjakannya di dunia ini salah atau benar. Tetapi ia tak berani bertanya
kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah
Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya..
Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek.
Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi,
istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya
dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo
Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang.
Aku mencari
Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia
tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan
kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh
mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun
bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”***
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda